Pada tahun 711, umat Islam mulai memasuki semenanjung
Iberia. Dengan misi mengakhiri kekuasaan tiran, Raja Roderick. Umat Islam di
bawak kepemimpinan Thariq bin Ziyad menyeberangi lautan yang memisahkan Maroko
dan daratan Spanyol. Tujuh tahun kemudian, sebagian besar wilayah semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang) berhasil diduduki oleh umat Islam. Dan
kekuasaan tersebut berlanjut selama lebih dari 700 tahun.
Thaifah-thaifah muslim ini adalah wilayah yang memiliki
otonomi masing-masing sehingga sangat rentan diserang oleh kerajaan-kerajaan
Kristen Eropa yang berada di wilayah Utara. Sepanjang dua ratus tahun berjalan,
satu per satu thaifah berhasil ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan Kristen Eropa
(Reconquista). Dan akhirnya pada tahun 1240-an M, hanya tersisa satu kerajaan
Islam saja di benua biru tersebut, di ujung Selatan tanah Andalusia, itulah
Kerajaan Granada.
Tulisan yang singkat ini akan memaparkan bagaimana kerajaan
Islam terakhir di Eropa ini runtuh.
Emirat Granada
Selama terjadinya reconquista, kerajaan Islam satu per satu
jatuh ke wilayah kekuasaan kerajaan Kristen yang melakukan penyerangan dari
Utara. Dimulai dari tahun 1000-an hingga 1200-an, kota-kota utama semisal
Cordoba, Sevilla, Toledo bergiliran dikuasai. Gerakan al-Murabitun dan
Muwahidun (yang kemudian menjadi sebuah daulah pen.) di Afrika Utara,
turut memiliki andil membantu Kristen Eropa, meskipun perpecahan umat Islam
adalah faktor utama yang menyebabkan keruntuhan Islam di Eropa.
Pada era tersebut, tahun 1200-an, Granada sempat berhasil
menghindarkan diri dari penaklukkan kerajaan-kerajaan Eropa. Setelah jatuhnya
Kota Cordoba, Granada menyepakati perjanjian dengan Kerajaan Castile, salah
satu kerajaan Kristen yang terkuat di Eropa. Perjanjian tersebut berisikan
kesediaan dan ketundukan Granada dengan membayar upeti berupa emas kepada
Kerajaan Castile setiap tahunnya. Timbal baliknya, Castile menjamin
independensi Granada dalam urusan dalam negeri mereka dan lepas dari ancaman
invasi Castile.
Selain membayar upeti, faktor lain yang membantu Granada
terhindar dari penklukkaan adalah letak geografisnya. Kerajaan ini terletak di
kaki pegunungan Sierra Nevada yang menjadi benteng alami melindungi kerajaan
dari invasi pihak-pihak luar.
Peperangan Kerajaan Granada
Selama lebih dari 250 tahun, Granada tetap tunduk kepada
Castile dengan membayar upeti. Namun dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Kristen
yang tidak bersahabat tetap saja membuat Granada dalam keadaan terancam. Mereka
tidak pernah aman dari ancaman penaklukkan.
Suratan takdir tentang keruntuhan Granada pun dimulai,
ketika Raja Ferdinand dari Aragon menikah dengan Putri Isabella dari Castile.
Pernikahan ini menyatukan dua kerajaan terkuat di semenanjung Iberia yang
merajut cita-cita yang satu, menaklukkan Granada dan menghapus jejak-jejak
Islam di benua biru.
Tahun 1482 pertempuran antara Kerajaan Kristen Spanyol dan
emirat Granada pun dimulai. Meskipun secara jumlah dan kekuatan materi Granada
kalah jauh, namun semangat juang masyarakat muslim Granada sangatlah besar,
mereka berperang dengan penuh keberanian. Sejarawan Spanyol mengatakan,
“Orang-orang muslim mencurahkan seluruh jiwa raga mereka dalam peperangan,
mereka layaknya seseorang pemberani dengan tekad yang kuat mempertahankan diri
mereka, istri, dan anak-anak mereka.” Demikian juga masyarakat sipil Granada,
mereka turut serta dalam peperangan dengan gagah berani, mempertahankan tanah
air mereka dan mempertahankan eksistensi Islam di tanah Eropa.
Saat itu, orang-orang Kristen bersatu padu, tidak lagi
berpecah belah sebagaimana keadaan mereka di masa lalu. Beda halnya dengan
Granada yang malah menghadapi pergolakan politik. Para pemimpin muslim dan para
gubernur cenderung saling sikut, memiliki ambisi yang berbeda-beda, dan
berusaha saling melengserkan satu sama lain. Di antara mereka ada yang berperan
sebagai mata-mata Kristen dengan iming-iming imbalan kekayaan, tanah, dan
kekuasaan. Lebih parah dari itu, pada tahun 1483, Sultan Muhammad, anak dari
Sultan Granada, mengadakan pemberontakan terhadap ayahnya sehingga memicu
terjadinya perang sipil.
Raja Ferdinand benar-benar memanfaatkan situasi ini untuk
membuat Granada kian lemah, ia mendukung pemberontakan Sultan Muhammad melawan
ayah dan anggota keluarganya. Pasukan-pasukan Kristen dikerahkan oleh Ferdinand
turut berperang bersama Sultan Muhammad menghadapi anggota keluarganya.
Akhirnya Sultan Muhammad berhasil menaklukkan anggota kerajaan dan menguasai
Granada. Namun kekuasaannya ini hanya terbatas di wilayah Kota Granada saja,
karena pasukan Kristen menekan dan mengambil wilayah-wilayah pedesaannya.
Akhir dari Granada
Tidak lama setelah menguasai Granada, Sultan Muhammad
mendapat surat dari Raja Ferdinand untuk menyerahkan Granada ke wilayah
kekuasaannya. Sang sultan pun terkejut dengan permintaan Raja
Ferdinand, karena
ia menyangka Raja Ferdinand akan memberikan wilayah Granada kepadanya dan
membiarkannya menjadi raja di wilayah tersebut.
Akhirnya Sultan Muhammad sadar bahwa ia hanya dimanfaatkan
sebagai pion oleh Ferdinand untuk melemahkan dan mempermudah jalan pasukan
Kristen menaklukkan Granada. Muhammad berusaha untuk menggalang kekuatan dengan
bersekutu bersama prajurit Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk
memerangi kekuatan Kristen Eropa. Namun bantuan yang diharapkan Muhammad
tidaklah sesuai dengan harapannya. Turki Utsmani hanya mengirimkan sekelompok
kecil angkatan laut yang tidak berpengaruh banyak terhadap kekuatan Kristen
Eropa.
Pada tahun 1491, Granada dikepung oleh pasukan-pasukan Raja
Ferdinand dan Ratu Isabella. Dari menara istananya, Muhammad melihat pasukan
Kristen dalam jumlah yang besar telah mengepung dan bersiap menyerang Granada.
Muhammad pun dipaksa untuk menandatangani surat penyerahan Granada kepada pasukan
sekutu Kristen. Peristiwa ini terjadi pada November 1491.
Pada tanggal 2 Januari 1492, pasukan Kristen memasuki Kota Granada.
Pasukan-pasukan ini memasuki istana Alhambra, mereka memasang bendera-bendera
dan simbol-simbol kerajaan Kristen Eropa di dinding-dinding istana sebagai
tanda kemenangan, dan di menara tertinggi istana Alhambra mereka pancangkan
bendera salib agar rakyat Granada mengetahui siapa penguasa mereka sekarang.
Keadaan saat itu benar-benar mencekam, rakyat muslim Granada tidak berani
keluar dari rumah-rumah mereka dan jalanan pun lengang dari hiruk pikuk
manusia.
Setelah itu, Sultan Muhammad diasingkan. Beberapa saat
perjalanan, di puncak gunung, ia menoleh kepada bekas wilayahnya sambil menitikkan
air mata. Ibunya yang melihat keadaan itu tidak simpatik kepada putranya,
bahkan ia memarahinya dengan mengatakan, “Jangan engkau menangis seperti
perempuan, karena engkau tidak mampu mempertahankan Granada layaknya seorang
laki-laki”.
Orang-orang Kristen menjanjikan toleransi dan kedamaian
terhadap masyarakat Islam Granada, walaupun kemudian perjanjian itu mereka
batalkan sendiri. Ribuan umat Islam terbunuh dan yang lainnya mengungsi
menyeberang lautan menuju wilayah Afrika Utara.
Itulah akhir dari peradaban Islam di Spanyol yang telah
berlangsung lebih dari tujuh abad lamanya. Cahaya Islam menghilang dari daratan
tersebut dengan terusir dan tewasnya umat Islam di sana, kemudian diganti
dengan pendatang-pendatang Kristen yang menempati wilayah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar